
Sebagai seorang pengamat sastra ala-ala, saya senang sekali ketika diminta Joss Wibisono untuk tandem dengan Lea Pamungkas jadi pewawancara pada acara peluncuran dua novelnya, ‘Rumah Tusuk Sate di Amsterdam Selatan’ & ‘Nai Kai’ di Amsterdam.
Kumpulan cerita Rumah Tusuk Sate di Amsterdam berawal dari keinginan Joss untuk memberi ‘panggung’ pada sejarah perlawanan pemuda Indonesia melawan Nazi di Belanda jaman verzet (bergerak) di Belanda. Menarik bagi saya karena justru kisah fiksi Joss ini yang membuat saya kepingin mengenal lebih jauh tentang Irawan Soejono, bukannya dari buku menterengnya Harry Poeze yang menurut Joss sedikit banyak menginspirasi cerita ini (santer kabar yang mengatakan cerpen ini akan dikembangkan jadi novel). Sementara buku keduanya, Nai Kai, bercerita tentang perbudakan di Indonesia pada jaman VOC, diceritakan dari sudut pandang seorang penyanyi opera beken di Eropa di paruh pertama abad ke-19.
Yang menarik, Joss sempat menceritakan tentang verzet-nya sendiri akan Orde Baru. Berbeda dengan empat cerpen lainnya yang memakai EYD, Rumah Tusuk Sate di Amsterdam Selatan, ditulis dalam ejaan Suwandi. Menurut Joss, hadirnya EYD menciptakan generasi muda yang ahistoris, karena mereka (sengaja dibuat) tidak tertarik menggali pengetahuan sejarah dari referensi lama yang memakai ejaan Suwandi. Kenapa tidak semua ditulis dalam ejaan Suwandi? Sambil mesem-mesem Joss menjawab ,”Yaaaaaaah nanti malah ndak ada yang baca.”
Meski Joss setengah mati meyakinkan bahwa kedua novelnya adalah fiksi, pertanyaan yang diusung kedua novel tersebut sama sekali tidak fiktif. Menyoroti soal zedenschaandaal (skandal susila) di Indonesia tahun akhir tahun 1930an, dimana penangkapan dan persekusi atas kalangan penyuka sejenis sering terjadi, Joss bertanya, mereka ini sudah pernah dihukum sebelumnya, apakah pemerintah Indonesia akan jadi ‘lebih kejam’ dari penjajah Belanda? Demikian juga dengan Nai Kai, diskusi jadi menarik ketika ada pertanyaan, mengapa Indonesia sepertinya tidak peduli atau bahkan cenderung menutup-nutupi perbudakan jaman VOC? Tidak seperti eks koloni Belanda lain, Suriname misalnya, yang getol menyuarakan soal itu.
Mengutip komentar penutup pemred majalah Historia Bonnie Triyana, “Gak usah lagi ada perdebatan soal fiksi non fiksi. Dari fiksi yang ditulis pada jamannya, kita juga bisa belajar sejarah.”
Acara peluncuran buku Minggu siang di Quaker centrum Amsterdam itu dihadiri oleh antara lain Dubes Indonesia untuk Kerajaan Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja, pemerhati masalah Indonesia Wim Manuhutu, Nico Schulte Nordholt dan Cara Ella Schulte Nordholt-Bouwman, diskusi berjalan hangat dan mencerahkan jiwa-jiwa yang haus akan pengetahuan sejarah.
Jika kita tanya pendapat wartawan senior Aboeprijadi Santoso yang juga hadir, dia bakal bilang, “Ini dua fiksi yang melintasi sejarah dua (atau lebih) tokoh, dua negeri, dua kota dan dua zaman. Dengan imajinasi yang pas, bila terpancar dari kedua buku ini, bisa mencicipi jiwa dan rasa zaman-zaman yang berbeda-beda itu: Belanda-Pendudukan Nazi-Indonesia 1940an; Bali-VOC-Amsterdam.”
Saran saya sih, jangan gampang percaya sama wartawan, biarpun yang senior juga, langsung aja beli buku-bukunya dan baca sendiri ya.